15 Okt 2009

Tentang Tulip dan Impiannya yang Tersengat Lebah

BASED ON TRUE STORY
(sekedar catatan kecil)



Kemarin setelah beberapa lama aku pergi (ah, sebenarnya dia yang pergi) kami bertemu dan hanya dalam jengkal jam kami bersama. Kali ini kami berjalan tanpa membicarakan masa lalu (atau sebenarnya kami berdua sedang sibuk mengingat-ingat masa lalu itu). Seperti suatu kesepakatan kami begitu saja membuat lintasan baru untuk perbincangan kami: masa depan.

"Aku bahkan tak berani membuat rencana lagi!" begitu kata perempuan itu (yang entah aku harus menyebutnya sebagai siapa sekarang). Tanpa pertanyaan lain aku hanya diam dan sibuk mengingat-ingat kapan terakhir kami berdua bersama di taman ini. Tempat yang pernah menuntun kami menjadi dua sejarah dalam satu rasa. Tempat yang pernah mengabadikan pertikaian kami, percumbuan kami, tangis kami, canda tawa dan cerita-cerita konyol lainnya.

Kami menemukan tempat ini 4 tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama duduk di bangku SMA. Kami belajar menulis sajak dan mengidolakan penyair-penyair. Tapi tampaknya dia cepat bosan dengan rumitnya puisi. Suatu waktu menjelang bulan terakhir di tahun itu, kami menciptakan puisi bersama-sama. Tentang tulip dan lebah. Tentang impian dan janji baru. Tentang malaikat yang mengintip persenyawaan kami. Ah, sungguh malu..

Lalu seperti menyindir, seorang pendeta di gereja yang berseberang dengan masjid berseru bak menara suar.

“Hanya karena cinta, jari-jari-Mu menari-nari melukiskan ada. Bumi. Pohon. Burung. Angin. Senja. Kupu-kupu. Cakrawala. Matahari. Cemara. Langit. Bintang. Segala dan setiap napas yang berhembus. Karena cintamu, Kau telah mempertemukan rumput dengan embun pagi. Awan di angkasa dengan langit di kaca jendela. Ombak dengan pasir. Bunga tulip dengan lebah madu. Demikian juga Kau mempertemukan dua mempelai ini.”

Kemudian kami lari terbirit-birit mengira kami yang dinikahkan.

"Apa kata ayahku nanti!? Bahkan aku baru kelas 1 SMA dan belum sempat belajar masak!"

"Aku juga tak pernah tahu kalo ada malaikat yang benar-benar mengintip dan mengadu pada pendeta itu!"

Sejak saat itu kami takut membuat sajak tentang malaikat.

Kini kami berdua kembali ke tempat ini lagi tanpa takut ada malaikat yang mengintip. Kami juga belum tentu membawa perasaan yang sama seperti 4 tahun yang lalu. Tapi bagiku, meski dia bukan cinta pertamaku, dengan alasan getaran itu bisa dikatakan demikian. Sebab sampai detik ini aku masih merasakan tulip-tulip membicarakan kami dan lebah menyanyikan lagu yang sejuk (ah, imajinasi).

Dulu kami memutuskan berpisah, ayahnya menginginkan dia kuliah di Turki. Padahal ia ingin belajar Belanda agar ia selalu bertemu tulip seperti di taman ini. Rambut keritingnya yang dulu aku suka, kini tertutup jilbab rapi. Semakin anggun dan cantik.

"Kau tahu kenapa aku mengajakmu kesini?" tanyanya.
Aku yang sedang melamun tiba-tiba dipaksa menebak tentang apa maunya. Tentu aku membayangkan yang sesuai keinginanku.

"Kau rindu dengan tulip?"

"Tidak. Kebanyakan kita di Indonesia mengenal tulip sebagai bunga dari Belanda. Namun, ternyata tulip sebenarnya adalah tumbuhan bunga asli dari Turki. Ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tulip sudah dibudidayakan di Turki sejak tahun 1000 Masehi, khususnya di daerah sekitar Laut Hitam. Setelah Sultan Mehmet Sang Penakluk merebut Turki pada pertengahan abad ke-15, bunga tulip mulai ditanam di halaman istana. Di istana itulah orang-orang Eropa mulai melihat keindahan tulip dan menganggapnya sebagai bunga yang bernilai tinggi.

Belanda baru mengenal tulip pada tahun 1593, setelah seorang botanis dari Austria diangkat sebagai gurubesar di Universitas Leiden. Botanis itu sebelumnya telah memiliki bibit tulip yang diperolehnya dari mantan dutabesar Austria di Turki yang diberi bibit tulip sebagai hadiah dari Sultan. Tulip di masa itu merupakan tanaman eksklusif yang hanya dimiliki secara terbatas oleh para pangeran di Eropa."

"Wow, kau hebat sekarang soal tulip. Lalu untuk apa kau mengajakku ke sini kalau kau tak rindu dengan tulip?" aku berharap dia menjawab rindu dengan aku atau minimal dengan masa lalu kami.

"Aku ingin membicarakan soal lebah."

Jantungku berdegup kencang dan ingatan itu kembali muncul. Dulu kami sering berandai-andai bahwa tulip yang tersengat lebah akan panjang hidupnya. Dan meski tulip itu telah dipetik seorang manusia, lebah itu akan terus mengikuti kemana perginya. lalu tentang lebah yang dia maksud?

"Aku sekarang bekerja di Jakarta?"

"Sudah lama?"

"Setahun."

"Apa?? Dan kau tak memberi kabar?"

"Maafkan soal ini."

"Ada alasan?"

"Aku drop out dari kampus. Rektor melakukan pelarangan mahasiswi untuk berjilbab. Ini kaitannya dengan perlawanan terhadap pemerintahan
Abdullah Gul yang Islamis. Ayahku menyuruhku keluar saja."

"Aku tanya alasan kenapa kau tidak memberiku kabar."

"Aku takut."

"Kenapa?"

"Soal perempuan berambut poni. Aku mendengar dari teman SMA. Aku takut kalian saling mencintai."

Lalu aku tertawa terpingkal-pingkal. Dia hanya diam cemberut sambil bibirnya mecucu, kebiasaan lamanya.

"Tenang saja, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku masih tetap dengan rencanaku. Menikahimu di taman ini. Akan kuundang para penyair untuk membacakan sajak-sajak tulip untukmu!"

"Dan perempuan berambut poni itu?"

"Dia tahu aku masih menunggumu, dia juga mengaku kalau dia masih mencintai lelaki berkacamata itu!"

Dia kembali diam. Aku hanya memandangi matanya. Mata yang pernah dekat dengan mataku.
Dia memalingkan matanya ke arah lebah madu yang hinggap di kelopak tulip di depan kami.

Kemudian aku mendekatinya, "lalu bagaimana soal lebah yang hendak kau bicarakan itu?"

Dia memandangku sebentar dan kembali berpaling. Aku mencoba mengganti arah pembicaraan.

"Di antara tulip-tulip di sini hanya satu jenis tulip yang aku sukai."
Dia tak menoleh. Entah apa yang dia pikirkan hingga seperti tak sadar ia melempar lebah madu itu dengan tulip kering.

"Tulip itu adalah Kaufmanniana. Kau tahu kenapa?"

Lagi-lagi ia tak menjawab.

"Tulipa Kaufmanniana tingginya sekitar 10 cm dan berbunga di awal April."

Ia tersentak kemudian memandangku. Aku tersenyum. Dia melangkah ke arahku dan berlari memelukku. Ya, angka 10 dan bulan April menjadi hal istimewa untuknya.

Kami berpelukan lama sekali. Tulip-tulip ikut menari disapu angin. Lebah-lebah seperti bernyanyi. Seperti andai-andai masa remaja kami dulu. Lalu, di telinganya aku berbisik.

"Bagaimana dengan lebah yang hendak kau ceritakan itu?"

Sejurus kemudian ia melepaskan pelukan dan menatapku. Matanya berair. Rupanya ia menangis di pelukanku.

"Itulah yang sedang aku pikirkan," jawabnya di sela gemetar tangisnya.

"Apa lagi yang harus kau pikirkan? bukankah lebahmu masih setia menunggumu di sini wahai sang tulip?"

"Mengapa kau memanggilku tulip? Bukankah dulu kau pangeran lebah dan aku ratumu? Tapi mungkin kau sudah berfirasat?"

"Maksudmu?" aku sangat bingung sekarang.

"Ya, aku benar-benar akan menjadi tulip yang tak bisa melawan ketika lebah menghisapku. Aku hanya menjadi pelayan madu bagi lebah tanpa aku bisa mencintai lebah itu."

"Apakah sebagai lebah aku bersikap seperti itu padamu? Maafkan aku jika benar demikian."

"Bukan, bukan kau lebah itu."

"Lalu?"

"Anak rekanan ayahku."

***
Sebulan setelah peristiwa itu aku baru berani ke taman ini lagi. Aku melihat seekor lebah sedang menghisap Kaufmanniana. Aku mengambil batu dan melemparnya dengan bengis. Lebah itu menyerangku. Aku berlari mencari perlindungan. Diantara kepanikanku samar-samar aku mendengar tulip-tulip itu berteriak menanyaiku.

"Apa rencanamu? bla...bla...bla...bla..."

Aku hanya berteriak sekeras mungkin, "aku tak berani berencana!!!!".

-GR-
15 Oktober 2009

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More