Arifin C.Noer, pada 28 Mei 2011, tepat 16 tahun meninggalkan kita. Namun, ada ikon-ikon tertentu yang membuat kita teringat kepada tokoh teater dan perfiman Indonesia ini. Antara lain “Darah itu warnanya merah, Jenderal” (Serangan Fajar) dan “Bukan Perempuan Biasa” yang mengilhami antara lain lagu “Bukan Cinta Biasa”.
Dalam puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2010, pada tanggal 6 Desember 2010 di Central Park Jakarta, Rasyid Karim yang terpilih sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik, mengucapkan terima kasih kepada Arifin C.Noer sebagai orang yang membuatnya berhasil. “Tanpa Arifin C.Noer saya tidak mungkin ada di sini,” ujar anggota Teater Ketjil itu seraya mengangkat piala Citranya.
Ucapan Rasyid Karim itu, mengingatkan kita bahwa sudah 16 tahun dunia film Indonesia ditinggalkan oleh Arifin C.Noer. Tokoh besar di teater dan film Indonesia yang lahir di Kenduruan, Cirebon, 10 Maret 1941 ini, meninggal di Jakarta, pada 28 Mei 1995.
Tidak mungkin kita melupakan jejak langkah Arifin C.Noer di teater dan perfilman Indonesia. Ia telah melahirkan banyak bintang. Rasyid Karim hanya salah satunya. Sebelumnya kita sudah mengenal banyak awak Teater Ketjil yang kemudian juga menekuni film. Seperti Ikranegara, Ratna Riantiarno, Dorman Borisman, Cok Simbara, dan banyak lagi.
Yang langsung ke kancah film, ialah Joice Erna (
Suci Sang Primadona) dan Farrah Meuthia (
Yuyun). Sementara Rano Karno, Merriem Bellina, meski tidak lahir di tangan Arifin, tetapi terpoles di tangan Arifin melalui film
Taksi. Begitu juga Bella Esperance Lee yang terpoles di
Bibir Mer.
Sejak Kecil Cinta Seni
Meski ayahnya, Mohammad Adnan, dikenal sebagai pedagang sate di Cirebon, Arifin Chairil Noer, yang ketika kecil akrab disapa dengan Ipin ini, lebih berminat menekuni seni.
“Masa kanak-kanak saya adalah masa kanak seorang anak tukang sate kambing dari suatu lingkungan yang sepi dari kehidupan artistik atau kesenian,” ungkap Arifin, dalam sebuah wawancara.
Anak kedua dari delapan bersaudara ini, setelah tamat SD Taman Siswa (Cirebon), ketika duduk di SMP Muhammadiyah (Cirebon) banyak menulis puisi, bahkan menulis sekaligus menyutradarai drama
Dunia Yang Retak. Pada usia ini, lahir puisinya yang pertama,
Langgar Purwodiningratan, bercerita mengenai masjid tempat ia biasa bertafakur.
Ketika di SMA Negeri Cirebon, ia masih banyak menulis puisi yang ia kirim ke majalah-majalah di Cirebon dan Bandung. Tidak jelas, apakah itu yang menyebabkan Arifin tidak lulus. Ia kemudian pindah ke SMA Jurnalistik di Solo. Di situ ia puas berekspresi dengan menjadi anggota Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS).
“Ketika remaja, setiap malam saya menulis puisi karena saya ingin menjadi penyair. Juga menulis lakon karena ingin menjadi sutradara,” tutur Arifin, suatu ketika.
Pada 1960, Arifin melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Ia memilih Jurusan Administrasi Niaga di Fakultas Sosial Politik Universitas Tjokroaminoto, karena ayahnya ingin Arifin menjadi camat. Namun, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra. Itu sebabnya, Arifin selalu menyebut Rendra sebagai guru teaternya.
“Makanya saya heran ketika ada yang bilang saya bersaing dengan Rendra. Mana mungkin guru dijadikan saingan. Rival saya adalah Shakespeare. Rendra tetap saya junjung sebagai guru,” ujar Arifin.
Bersama Lingkaran Drama Rendra, ia memuaskan kreativitasnya dalam penulisan puisi dan drama. Ia juga bergabung dengan Teater Muslim pimpinan Mohammad Diponegoro – yang kemudian disebut Arifin sebagai gurunya di bidang organisasi. Di sini naskahnya,
Nenek Tercinta, memenangi Sayembara Penulisan Drama Teater Muslim. Kemudian naskahnya,
Mega-Mega, menjadi pemenang kedua Sayembara Naskah Drama Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) tahun 1967.
Tamat kuliah pada 1967, Arifin memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Ia meniti karir sebagai manajer personalia di sebuah yayasan dana bantuan. Namun ia juga mendirikan Teater Ketjil, pada 1968, bersama kawan-kawannya – antara lain bersama Salim Said, Nashar, Roedjito, dan Sri Widodo.
Sewaktu Rasyid Karim melamar menjadi anggota Teater Ketjil pada 1975, Arifin bekerja di kantor Kawasan Industri Pulogadung. “Ketika saya ingin ikut Teater Ketjil, saya ke rumahnya. Rupanya saya datang kesiangan. Mas Arifin sudah berangkat ke Pulogadung, jadi saya menunggu sampai malam,” tutur Rasyid Karim, yang bergabung dengan Teater Ketjil sejak masih duduk di kelas 1 SMA 12, Klender (Jakarta).
Awalnya, Arifin masih berusaha menyelaraskan kerja kantoran dengan teater. Apalagi di Kawasan Industri Pulogadung, setelah menjadi
public relations kemudian menjadi
marketing manager. Ia juga sempat mendapat rumah mewah dari perusahaan. “Saya pernah menemani Mas Arifin, pada suatu malam tahun baru, piket di kantor. Waktu itu, kalau tidak salah, ada pertunjukan wayang orang di kawasan itu,” tutur Rasyid Karim, kelahiran 1956, yang di Teater Ketjil tergolong paling muda.
Namun, akhirnya, Arifin meninggalkan jabatannya untuk berkonsentrasi di Teater Ketjil. “Kesenian saya bukanlah uang. Keberhasilan seseorang itu terletak pada rasa bahagia,” tegas Arifin.
Fenomena dalam Teater Indonesia Modern
Menurut Putu Wijaya, salah satu tokoh teater Indonesia, Arifin C.Noer dan Teater Ketjil merupakan fenomena dalam teater Indonesia modern. Arifin juga pelopor teater Indonesia, bersama Rendra dan Teguh Karya – ketiganya kini sudah tiada.
“Rendra dengan Bengkel Teater menyumbangkan ‘kegagahan dalam
kemiskinan’ dengan menggali idiom pengadegan teater rakyat seperti ketoprak, Teguh Karya dengan Teater Populer menyumbangkan upaya menggali realisme Barat dan pola produksi yang sadar pasar sehingga menjadikan teater sebagai hidangan terhormat di masyarakat kelas menengah, Arifin menyumbangkan bau Indonesia dengan segala masalah sosial, psikologis, juga mistik Jawa/Sunda dalam kemasan Indonesia,” urai pemimpin Teater Mandiri tersebut, dalam acara mengenang Arifin C.Noer pada 17 Mei 2005.
Putu Wijaya memuji Arifin sebagai pengarang produktif dengan meninggalkan banyak naskah drama yang membuat sejarah dalam perjalanan teater Indonesia modern.
Banyak judul lakon yang telah dilahirkan Arifin. Ia menulis dan menyutradarai sendiri judul-judul seperti
Sumur Tanda Dasar (digelar antara lain dalam acara pembukaan Gedung Kesenian Jakarta (1987),
Mega-Mega,
Kapai-Kapai,
Tengul,
Orkes Madun I –
Madekur dan Tarkeni,
Orkes Madun II –
Umang-Umang,
Orkes Madun III – Sandek Pemuda Pekerja,
Kucak-Kacik, dan
Macbeth.
Menurut Arifin, suatu pementasan bukanlah suatu karya tulis ilmiah yang memungkinkan pencantuman sejuta catatan kaki. Teater memerlukan ketangkasan dalam waktu seperti sulapan, sehingga dalam sekejap saja seluruh dunia segera memahaminya. “Oleh sebab itu saya senantiasa berusaha agar teater saya bukan teater Barat di Timur, tetapi teater Timur yang juga dipahami Barat,” ujar Arifin, tentang konsep teaternya dalam makalahnya yang berjudul
Bukan Teater Barat di Timur (1982).
Bagi Arifin, kekinian sangat penting dalam pertunjukannya. Karena pementasan teater adalah pementasan hidup. “Setiap kali saya mementaskan lakon, saya harus mampu mendapatkan, menciptakan, menggunakan ungkapan-ungkapan yang hidup, ungkapan-ungkapan yang merefleksikan tempat dan waktu di mana saya hidup. Sebab penonton yang menghadapi saya adalah penonton yang hidup, penonton yang kini,” jelas Arifin.
Pementasan
Ozone Atawa Orkes Madun misalnya, berangkat dari kepeduliannya terhadap lingkungan, yang ia akui muncul ketika bekerja di Kawasan Industri Pulogadung. “Kita kan baru sekarang
mikirin ozon, tapi dia sudah lama memikirkannya. Diolah sendiri, dia pikir sudah matang, lalu
dikeluarin,” ujar Jajang.
Jajang C.Noer, istri Arifin yang juga anggota Teater Ketjil, menceritakan bahwa semua karya Arifin selalu merupakan hasil endapan bertahun-tahun. “Tidak dibikin-bikin. Itu sudah ada di kepalanya. Seringkali mengendap lama bertahun-tahun, lalu keluar dengan sendirinya dari pikiran dan hatinya,” tutur Jajang.
Kapai-Kapai misalnya – yang mendapat banyak perhatian internasional, dengan dipentaskan di Australia, Belgia, Malaysia, Jepang, New York, dan Swedia – ditulis Arifin hanya dalam beberapa hari.
“Karena sudah ada di kepalanya, jadi tidak dikarang-karang,” ujar Jajang. Itu sebabnya, bila ada pesanan skenario yang tuntutan ceritanya tak ada dalam gagasannya, dengan tegas Arifin menolaknya. Tapi kalau gagasannya pas, sekalipun sulit, dia akan menyelesaikannya dengan sungguh-sungguh.
Teater Ketjil pula yang mempertemukan Arifin dengan Jajang Pamuntjak, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial-Politik UI yang tertarik menjadi anggota Teater Ketjil. “Mas Arifin adalah orang yang baik, pandai, dan bertanggung jawab,” komentar Jajang, putri tunggal mantan Duta Besar RI pertama di Prancis dan Filipina, Nazir Datuk Pamuntjak.
Arifin kemudian menikahi Jajang, setelah bercerai dari istri pertamanya, Nurul Aini. “Belum pernah saya ketemu orang yang
kayak dia, yang otaknya pintar – penuh dengan ide, penuh dengan wawasan bagus dan luas, serta hati yang baik dan tulus,” ujar Jajang.
Jajang mengakui bahwa lingkungan keluarganya berbeda jauh dengan Arifin. “Tapi Mas Arifin bisa masuk ke lingkungan saya. Dia tidak segan-segan
belajar. Sampai ibu saya, yang lingkungannya kalangan diplomat, bisa menyebut Mas Arifin “
a gentleman”. Jadi Mas Arifin itu belajar,” ujar kelahiran Paris (Prancis), 28 Juni 1952 ini, menguraikan ketertarikannya kepada pria yang usianya lebih tua 11 tahun itu.
Akhirnya Film
Semula Arifin tak tertarik sama sekali pada dunia film. “Saya adalah pecinta film, tapi tidak banyak menonton film Indonesia,” ungkap Arifin. Cita-citanya sejak kecil juga hanya ingin menjadi pengarang, penyair, dan sutradara teater. Maka ketika diajak masuk ke film, ia ragu.
Memang sejak 1971, Arifin sudah bersentuhan dengan film. Namun, itu sebatas penulisan skenario. Dimulai dengan skenario
Pemberang, yang kemudian difilmkan oleh Hasmanan dan berhasil mendapatkan piala The Golden Harvest dalam Festival Film Asia 1972 untuk kategori The Best Dialog.
Sejak itu, Arifin, yang kemudian mendapat kesempatan mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, AS, mengisi tahun 1972 dengan banyak menulis skenario. Antara lain
Rio Anakku (1973) dan
Melawan Badai (skenario terbaik FFI 1974).
Namun, akhirnya Arifin menyadari bahwa film adalah salah satu bentuk kesenian yang paling representatif pada abad baru. Di film, terdapat pertemuan antara kebudayaan dan alam, antara teknologi dan visual. Pada 1977 ia menerima tawaran Gramedia Film untuk menggarap
Suci Sang Primadona – yang skenarionya ditulis Arifin hanya dalam empat hari. Sebetulnya Arifin tertarik menggarap riwayat hidup Kasdut, bandit besar yang kemudian dihukum mati, tetapi batal lantaran banyak mendapat elepon gelap.
Rupanya ia mengisi rentang antara 1972-1977 dengan diam-diam belajar film. Antara lain mengajukan diri menjadi asisten DA Peransi menggarap film dokumenter dan semi dokumenter. Ia juga belajar dari Wim Umboh dengan membantu penggarapan film
Kugapai Cintamu dan
Sesuatu Yang Indah.
“Saya orangnya tidak mau tanggung-tanggung. Kalau mau terjun ke film, harus habis-habisan dan tak kepalang tanggung. Untuk itu, saya harus mempersiapkan diri baik fisik, mental, dan teknis. Saya juga harus mengubah seluruh gaya hidup saya. Sejarah hidup saya pun akan berubah kalau saya akan terlibat di dalam film,” kilah Arifin, dalam sebuah wawancara.
Pada saat pembuatan
Kugapai Cintamu itulah pertama kali Arifin bersentuhan dengan kamera. Itupun lantaran Wim mengajaknya melihat sebuah adegan melalui kamera. “Bung Wim rupanya tidak sadar bahwa ketika pertama kali saya mengintip kamera, adalah pertama kali saya mengintip lubang kamera,” ujar Arifin.
Suci Sang Primadona adalah film garapan pertama Arifin, yang sekaligus mengangkat nama Joice Erna yang memenangi FFI 1978 sebagai aktris terbaik. Arifin menyebut film ini sebagai yang paling memuaskannya. “Mungkin karena yang pertama dan penuh kenangan. Ketika membuat film itu, saya seperti bocah yang sedang bermain-main,” kilah Arifin.
Setelah
Suci Sang Primadona, sederet judul film ia garap. Yaitu
Petualang-Petualang,
Harmonikaku,
Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa,
Serangan Fajar,
Pengkhianatan G30S,
Matahari-Matahari,
Jakarta 1966,
Taksi, dan
Bibir Mer.
Di antara judul-judul itu yang menyedot perhatian adalah
Serangan Fadjar yang memenangi FFI 1982 dan mendapat penghargaan dari London Film Festival 1983,
Pengkhianatan G30S yang masa putarnya empat jam lebih dan pada era Orde Baru menjadi tontonan wajib setiap akhir bulan September. Film
Taksi, yang diangkat dari cerita bersambung karya Eddy Suhendro,
berhasil merajai FFI 1990 dengan enam piala Citra dan Festival Film Pyongyang Arifin memilih Arifin sebagai sutradara terbaik. Sementara
Bibir Mer (FFI 1992), dalam peredarannya berhasil menyedot lebih dari 200 ribu penonton.
Namun, bukan berarti Arifin meninggalkan teater. “Saya tidak bisa memberatkan satu sama lain. Pada waktu saya berangkat berkesenian, saya menulis puisi, menyutradarai, menulis sandiwara dan akting sekaligus. Baru kemudian saya bikin film. Saya kira setiap mendapatkan ide, saya harus memahami betul apakah inspirasi itu puisi, teater, atau film. Saya percaya setiap ide akan mengejar bentuknya sendiri,” ujar Arifin.
Bukan Perempuan Biasa
Saat meninggal, Arifin mewariskan dua skenario, di dalam lemari besi tempat penyimpanan naskah-naskah Arifin. Yaitu
Malin, yang menurut rencana difilmkan oleh pengusaha Soedwikatmono (alm), sudah pula
casting dengan bintang Dede Jusuf dan Merriem Bellina, tapi ternyata batal.
Sedangkan
Bukan Perempuan Biasa, belum selesai. Pada 1997 Jajang menyutradarai sinetron tersebut, Jajang sebagai kenangannya kepada Arifin. Jajang menyerahkan kelanjutan naskah itu kepada Arswendo Atmowiloto.
Arifin pernah bercerita bahwa tokoh-tokoh perempuan di filmnya, tidak seperti digambarkan orang lain. “Perempuan-perempuan dalam film saya adalah perempuan yang tangguh dan perkasa. Perempuan yang tidak gampang dihina, dan saya tidak mau menghina perempuan. Bukan saja karena saya mencintai ibu saya sedemikian rupa, tapi saya juga berpendapat bahwa Ibu adalah induk dari induk kebudayaan,” ujar Arifin, yang sangat mencintai ibunya, Aisah, yang meninggal di pelukannya pada tahun 1964, dalam usia belum 40 tahun.
Jajang mengaku sangat kagum kepada suaminya yang sangat mengagungkan perempuan. “Mas Arifin itu berdiri lho ketika ada teman saya, yang seumur saya – berarti kan 11 tahun di bawah dia. Padahal, ketika itu, saya masih usia 30-an dan teman saya juga bukan siapa-siapa, sedangkan Mas Arifin sudah seseorang. Jarang kan laki-laki seperti itu. Masih banyak di sekitar saya yang tidak menghormati perempuan,” ujar Jajang. “Analisa saya, laki-laki yang menghormati dan menghargai ibunya sebagai seorang individu, pasti menghargai perempuan,” kata Jajang.
Kekaguman itulah yang membuat Jajang ingin sekali mewujudkan naskah itu. “Saya mengikuti gaya Mas Arifin menyutradarai, tetapi saya nggak punya
feel-nya. Saya tahu menyutradarai orang, tapi nggak berkesan. Karya-karya Mas Arifin, selalu ada yang bisa kita bawa pulang. Itu nggak bisa dipelajari,” ujar Jajang, yang sudah menyutradarai 12 film televisi dan 2 serial televisi.
Padahal dalam menyutradarai – teater maupun film – Arifin tidak pernah mendikte. Dia mengharapkan masing-masing pemain menangkap persepsi, bila persepsi salah baru diluruskan. “Karena itu kami di Teater Ketjil masih punya gaya sendiri-sendiri,” ujar Jajang.
Kelebihan Arifin yang lain, kata Jajang, selalu melakukan segala hal dengan benar dan saksama. “Dia hapal, kalau asbak atau ikat pinggang yang dipakai sebagai properti, yang itu-itu juga,” ujar Jajang. Pernah pula seorang pemain mengenakan cincin yang berbeda. Kendati di dalam catatan Jajang tidak salah, setelah dicocokkan dengan foto Polaroid memang berbeda.
Nah, di sinilah biasanya Arifin lalu marah. Semakin dekat dia dengan seseorang, semakin mudah dia marahi. Maka yang menjadi tumpahan kemarahan adalah Jajang, Embi, Rasyid dan beberapa lagi. “Jangan ngomong soal KKN. Bagi Arifin, biar adiknya, akan dia maki kalau salah,” ujar Rasyid.
“Buat dia, orang bodoh dan orang malas, nggak boleh terjadi. Padahal kadang-kadang kita nggak sekepala dengan dia kan? Dan kata-katanya suka
nyakitin, seperti ‘Pakai otak, dong’,” tutur Jajang. Karena itu, tutur Jajang, waktu Arifin dan Jajang menunaikan ibadah haji pada 1988, “Ada seorang kawan bertanya, ‘ Di sana ada yang memaki-maki Mas Arifin nggak, karena Mas Arifin suka memaki-maki kita?’ Saya bilang, nggak ada. Berarti maki-maki itu benar karena kita alpa.”
“Rasyid, saya sakit”
Sampai dengan bulan Januari 1995, Arifin C.Noer masih asyik mengetik skenario
Bukan Perempuan Biasa. Menurut Jajang, Arifin biasa bekerja pagi hari seusai shalat Subuh kemudian bisa dilanjutkan setelah sarapan roti dengan cokelat dan ngobrol dengan Jajang tentang berbagai topik di koran – kecuali tentang ekonomi dan olahraga.
Arifin dikenal sebagai orang yang dislipin dan bekerja dengan program. “Kalau dia punya
deadline, akan ditepati, tetapi kalau sedang nulis terus nggak punya ide, ya sudah dia diam. Jadi kalaupun
deadline terlanggar, karena memang nggak dapat ide. Pokoknya tidak ada yang dibuat-buat,” tutur Jajang.
Dalam bekerja, Arifin selalu minta ditemani oleh Jajang. Makanya saya selalu bilang, saya sama dia harus 26 jam.
Shooting saya mesti ikut, karena itu saya memberi pekerjaan kepada diri sendiri sebagai pencatat adegan, daripada duduk-duduk
kayak orang tolol. Kalau dia mengarang, entah di rumah, hotel, atau di luar kota, saya mesti ada di situ.
“Tadinya saya pikir dia ingin dekat-dekat saya saja, tapi ternyata kalau saya kasih masukan, dia pikir juga. Tapi kalau masukan saya dia anggap nggak masuk akal, dia jalan terus,” ujar Jajang, yang juga menemani menonton berita dan Cosby Show di televisi, menyewa laser disc pada akhir pekan, atau sekali sebulan mencari restoran baru untuk makan bersama anak-anak.
Sesekali Arifin pergi sendiri dengan taksi – tanpa melupakan topinya agar tidak dikenali – mengunjungi sahabat-sahabatnya seperti Amak Baljun (alm) dan dr.Amoroso Katamsi. Atau curhat seharian di rumah Rasyid Karim sambil makan kue apem kesukaannya.
Ia tak pernah mengeluh soal kesehatan. Meski pernah terserang jantung pada 1980, Arifin masih selalu segar. Hobi makan daging kambing tak ia tinggalkan. Hanya merokok yang hentikan. Namun, ketika penulisan Bukan Perempuan Biasa baru sampai episode 7 – dari rencana 10 episode – Arifin mengeluh lemas dan mudah mengantuk. Karena itu semula keluarga menganggap keluhan itu muncul lantaran jenuh dengan pekerjaan. Ternyata, menurut dokter, Arifin menderita kanker hati. Keluarga kemudian membawa Arifin untuk berobat ke Singapura.
“Sebelum berangkat, saya ditelepon untuk datang. Ketika saya ketemu, Mas Arifin bilang, ‘Rasyid, saya ini sakit, tapi tolong jangan kasih tahu siapa pun’,” tutur Rasyid, sambil terisak. “Sampai di Singapura, sehari sebelum operasi dia telepon saya. Setelah siuman sehabis operasi, dia telepon saya, menangis,” kenang Rasyid tentang Arifin C.Noer yang menjadi wali nikahnya pada 1991.
Ketika Arifin harus masuk rumah sakit lagi di RS Medistra, “Saya ditelepon pukul 2 malam, saya langsung ke sana. Sudah banyak orang waktu itu. Saya berbisik di telinganya, ‘Mas Arifin, ini Rasyid’. Dia senyum saja nggak bicara apa-apa. Karena nggak tahan, saya keluar kamar. Ketika saya masuk lagi, dia sudah meninggal.”
Bulan Mei tahun ini, tepat 16 tahun kepergian Arifin. Nita Nazyra C.Noer, anak pertama Arifin dari Jajang yang lulusan IKJ, telah mulai menyutradarai film dokumenter. Sementara terdengar berita duka cita, bahwa putri kedua Arifin dari Nurul Aini, Veda Amritha, belum lama ini menyusul ayahnya ke alam baka. Turut berduka cita. []
Ditulis oleh: Rita Sri Hastuti
*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Moviegoers edisi perdana/Februari 2011