28 Mar 2009

Mari Makan

Cerita pendek banget Gusmel Riyadh


Jemput aku sekarang di Pos Polisi Gladak,
seberang pintu masuk ke Keraton.

Penerima:
S@yAnx
+6285725669685
***
Jalan Slamet Riyadi 16.46
Ya, kau duduklah di situ. Tak apa. Tapi jangan kau sentuh buntalan itu. Aku tak akan membiarkan seorang pun menyentuhnya. Dan aku tak mungkin menitipkan pada orang-orang yang memiliki warung di sana itu. Ini makananku. Salah-salah mereka justru menjualnya.
Aku juga heran, kenapa warung sebanyak itu tetap saja ada yang membeli ya? Padahal di Solo ini ada ribuan warung lesehan seperti di seberang jalan itu. Benar kata pakdhe, orang-orang itu golongan kawula ilat.
Kau dari mana? Perempuan tak baik pergi sendirian. Apalagi malam minggu begini. Mubadzir namanya. Tuhan bilang kan manusia itu berjodoh-jodoh dan kalau kau pergi sendirian itu berarti kau tak memanfaatkan fasilitas yang telah Tuhan berikan. Apa kau tak takut? Sekarang kan sedang musim pembunuhan. Orang makan orang.
Kau tinggal di mana? Aku mungkin akan tidur di sini. Tadi orang-orang aneh dalam kereta mengusirku tiba-tiba. Kata mereka, bau buntalan yang aku bawa sangat menggangu. Aku bilang mereka yang sok bersih, padahal hati dan otaknya lebih busuk dari pada bau buntalanku. Tapi aku kalah jumlah sama mereka. Mereka minta masinis menghentikan kereta, dan aku di lempar ramai-ramai. Jadilah aku sampai di sini mendekam sendirian.
Tadi kereta terakhir, sebab jurusan Solo-Wonogiri hanya jalan dua kali. Sebenarnya mereka mengizinkan aku tetap di dalam kereta asal buntalan ini aku buang. Aku bilang, aku butuh makan tapi mereka tak mau peduli.
Aku tak bisa meninggalkan kepercayaan kepada siapa pun. Sebab mereka yang kau lihat saat ini tak ada satu pun yang benar-benar bisa ku percaya sebagai manusia. Manusia yang sebenarnya adalah makhluk seperti aku yang hanya membutuhkan makan. Sebab, begitulah sebenarnya tujuan manusia diciptakan. Sebagaimana predator lain, manusia berkewajiban menjadi penyeimbang kehidupan. Biar kiamat tetap datang sebagaimana mestinya.
Kemarin ada orang berkaos merah hati bertuliskan ‘Nirvana’ bergambar tengkorak ber-blangkon. Aku kepingin kaos itu. Aku minta kepada dia baik-baik, tapi di malah membentak. Aku bunuh saja dia.
Kau sudah makan? Kalau kau mau aku bisa berbagai makanan denganmu. Ini silakan.
Hei…!!!
Kenapa kau lari? Dasar perempuan aneh.

***
Pos Polisi Gladak 17.54
Dia duduk bibir taman dekat rel, sebelum lampu merah pertama dari sini. Dia berkaos merah hati bertuliskan ‘Nirvana’ bergambar tengkorak ber-blangkon Tangan kirinya mendekap bungkusan yang sangat menyengat baunya. Dia bilang itu makanannya. Saya lari ketika dia menawarkan makan. Waktu itu saya hanya sempat melihat tulang-tulang berukuran manusia dan bekas darah di kain pembungkusnya.***

Karanganyar, 6 September 2008

17 Mar 2009

Romantika Pelajar Tolol

Seusai praktikum berlalu aku jadi bimbang

Apakah anatomi itu haram?

Tidak, jika itu aku, jawabmu.

Tiba-tiba ususku menegang

Kaupun tahu dan malu-malu riang

Sebab kataku, usus itu membentuk namamu dalam perutku.

Sisanya keluar sekian senti sebesar genggaman dan terus menegang

Tidak!

Usus itu menerkammu

Mencabik dinding dosamu

Darah mengalir

Dan darinya kutoreh beberapa nama,

Anak kita.



Februari 2009

Pentas TEATER NGLILIR: Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi

Teater Nglilir akan mempersembahkan Naskah Dilarang Menyanyi Kamar Mandi, Adaptasi cerpen Seno Gumira Ajidarma, Sutradara Gusmel Riyadh. Acara ini dalam rangka Baca-Bedah Antologi Cerpen MIMPI JELANG PEMILU yang diselenggarakan oleh Divisi Sastra Taman Budaya Jawa Tengah-Solo.

Cerpenis: Atmo Kanjeng, Jo Pakagula, Titik Andarwati, Yuditeha (Karanganyar), Gusmel Riyadh (Boyolali), Andi Dwi Handoko (Wonogiri), Gatot Prakosa (Solo), Indrian Koto (Jogja), Kusprihyanto Namma (Ngawi), Dian Hartati (Bandung)
Pembicara: Langit Kresna Hariadi (novelis Gajah Mada)
Feat: Teatrikalisasi Cerpen Teater Nglilir Karanganyar
Doorprize: gratis, buku antologi, snack

UNDANGAN: http://www.facebook.com/event.php?eid=143746420190&ref=nf

4 Mar 2009

Sepasang Februari



Sepasang Februari


di musim yang memerah

nafas mereka menyatu

daun-daun bergesekan didera cemburu


di televisi yang biru

lutut mereka memerah

daun telinga bergesekan tanpa malu


di rumah, televisi marah

menerkam sepasang februari yang masih merah


Februari 2009


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More