19 Mei 2009

NASIBKU DIBAYAR LUNAS RCTI

(ketika kemiskinan menjadi ladang penghidupan bagi pemilik modal)


Lelaki itu kini punya kebiasaan baru. Duduk di depan rumah dan berharap sesuatu yang belum tentu bisa diharapkan. Jika kemarin-kemarin dia selalu bersembunyi saat penagih hutang itu datang, kini dia justru menunggu-nunggu kedatangannya. Berduitkah dia?

Karjo Pakso nama lelaki itu. Tukang bangunan yang tak begitu laris, terbelit hutang tiga setengah juta. Kecelakaan setahun silam awal dari derita itu. Lukanya sudah sembuh, tapi hutang yang jumlahnya seratus kali dari upahnya jadi kuli bangunan tak juga ‘sembuh’. Maka tak heran, setiap kali penagih hutang itu datang, akan kau dapati Karjo berada di warung Yu Anu, atau di gubuk Lik Anu-di tengah sawah itu-, atau di masjid. Bahkan pernah suatu kali kampung digegerkan oleh teriakan Karjo Pakso dari lubang calon sptictank-nya Haji Anu lantaran tak bisa naik, sebab tubuh tambun tapi pendek itu tak pandai memanjat.

Tapi sekarang Karjo Pakso tak perlu melakukan itu. Semenjak episode pertama DIBAYAR LUNAS RCTI yang ia tonton di televisi pos kampling ia jadi yakin, ia pantas masuk acara itu. Maka ditunggulah mereka, lelaki berpakaian serba hitam dan berboncengan motor itu. Ia pindahkan kursi panjang, satu-satunya kursi yang agak bersih di rumah itu ke teras depan. Ditemani teh tawar pahit dan rokok tembakau tingwe, ia menantang nasib.

Istri Karjo jadi gelisah melihat tingkah suaminya itu.

“Pakne, sekarang arisan RT!” Karjo diam saja.

“Pakne, anakmu berkelahi dengan penjual sate!” Karjo tak peduli.

“Pakne, aku hamil lagi” Karjo hanya memandang perut istrinya, lalu merokok lagi.

“Pakne, Haji Anu mau benerin kamar mandinya, kamu bisa ndak?” Karjo tak mau ambil resiko, maka ia menolak.

“Pakne,….Pakne…Pakne” dan seterusnya, tapi Karjo tak pernah meninggalkan kursi itu kecuali untuk buang air. Untuk makan pun istrinya yang menyiapkan.

Acara televisi itu begitu kuat meyakinkan Karjo, bahwa ia akan mendapat keberuntungan. Ia tak boleh melewatkan sedetik pun kesempatan ini. Nasibnya akan dibayar lunas. Mimpinya akan dibayar lunas. Tapi ia tak pernah sadar bahwa harga dirinya juga akan dibayar lunas. Semangat hidupnya akan dibayar lunas. Tangisnya telah menjelma hiburan bagi manusia lain. Kemiskinannya adalah ladang penghidupan pemilik acara itu.

Sesekali Karjo naik ke atas kursi itu. Ia pandang jalan yang membelah pematang. Jalan satu-satunya yang menghubungkan kampungnya dengan jalan besar. Tapi yang ia tunggu juga tak muncul. Ia mulai gelisah. Ia mulai meracau. Ia mulai bertanya pada nasib baik, datangkah ia?

***

“Saya sudah tidak bisa memberi tenggang waktu lagi dan saya juga tak banyak waktu lagi untuk mendengar segala alasan Bapak! Silakan kosongkan rumah ini sekarang juga atau orang kami yang akan membereskan! Dengan cara kami sendiri tentunya.”

“Halah, mas’e itu lo pake basa basi segala. Mbok langsung bilang saja, mase dari acara tipi itu to? Hayo, ngaku ngaku! Kameranya sembunyi dimana sih mas?”

“Bapak Karjo Pakso yang terhormat, saya sedang tidak bercanda!”

“Walah, aktingnya mase keren juga ya? Eh, mas, saya apa juga harus akting to? Mas-nya kok Cuma sendirian? Biasanya berdua kan? Tapi mas-nya kok beda sama yang di tipi itu ya? Lha mbaknya yang cantik, yang pake baju putih itu mana mas? Oh, nanti ya? Tapi sudah nggak sabar. Eh, tunggu bentar ya mas ya? Saya panggil istri saya dulu. Bune, Bune!”

Tapi orang-orang berbadan besar begitu cepat datang. Barang-barang berterbangan keluar rumah diiringi jerit tangis sang istri. Para tetangga tak bisa berbuat apa-apa kecuali berjubal dalam keprihatinan. Sementara itu Karjo Pakso masih yakin bahwa itu semua bagian dari skenario.

“Halah, halah, mbok tenang saja to Bune, ntar juga dikembaliin. Tapi nggak apa-apa ding, kamu nangis terus aja. Semakin memelas lebih baik. Aku tak nyari kameranya dulu.”

Semua orang yang ada di situ akan dilontari pertanyaan yang sama oleh Karjo.

“Ada yang lihat kameranya dimana?”

Begitulah, rumah itu telah kosong. Beberapa orang berbadan besar masih berjaga disekitar rumah itu. Para tetangga pulang dalam lelap. Istri karjo entah kemana membawa lari anak-anaknya.

***

Sekarang, jika diantara kalian bertemu seorang lelaki di jalan, berpakaian kumal, mengetuk-ngetuk jendela mobil kalian dan ketika kaca jendela itu kau buka lalu dia berkata, “Apa kameranya kau sembunyikan di sini?” mungkin ia adalah Karjo Pakso.

19 Mei 2009

gambar dari sini

ARTIKEL KAWAN LAIN YANG BERHUBUNGAN:

- DIBAYAR LUNAS RCTI.. Memprihatinkan

- Dibayar Lunas Aneh

6 komentar:

kunjungan balik..... trims sudah mampir. salam

nice posting Mas agus...aku suka ini....

Saya selalu suka acara yang bikin seneng orang susah.Tapi DIBAYAR LUNAS lain cerita.Yang ini terlalu mempermainkan dan menginjak-injak kemanusiaan.Memang,setelah habis harkat,nasib dan kemiskinannya diinjak-injak,ditonton orang banyak dan dijual untuk mencari iklan ( lebih dari 10 iklan),Dewi penolong dari rcti datang melunasi utangnya.Yang saya tonton waktu itu,salah satu iklannya menampilkan sosok direktur rcti yang dengan gagah mengiklankan sesuatu.Cari duit emang perlu Pak,tapi jangan gitu-gitu amat lah pak.Kalau Pak Direktur meloloskan acara seperti ini, saya bisa menilai orang kayak apa Anda ini.

@sekar lawu: terima kasih bu....

@wedha: saya setuju dengan anda, bahwa kadang pemilik modal terlalu dibutakan oleh kepentingan finansial.

Iya tayang televisi sekarang ini sudah memprihatinkan...
Silahkan baca uneg-uneg saya di http://tudabit.blogspot.com/2009/04/penderitaan-yang-tiada-akhir-hingga.html

Uneg-uneg tentang tayang televisi yang menurut saya sudah kelewatan...

Makasi mas, artikel yang menarik...

cari uang hem....ck..ck..ck hao ke lien

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR DI BLOG INI. APA YANG ANDA PIKIRKAN SOAL TULISAN SAYA TADI?

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More