Kenapa saya tiba-tiba menulis hujan? Bukankah hujan sudah terlalu sering dalam sajak? Bukankah sudah diterangkan oleh para master-master penyair tentang 'hujan' dalam puisi? 'hujan' yang bukan hujan.
Ah, saya mencoba tak peduli saja. Saya hanya hendak memotret perjumpaan saya dengan seorang perempuan. Entah sedang hujan atau tidak, saya telah mengundang hujan dalam sajak ini, semoga berkenan hadir. Saya memilih sajak karena saya belum mempunyai kamera. Itu saja. Silakan menikmati potret kata-kata.
Seperti Hujan Kita Bertukar Dingin
:perempuan berkemeja abu, berambut lurus, berpunggung melengkung kebelakang
aku menemuimu bersama kantuk yang hampir melajang
lalu kau tidurkan aku di belahan nafasmu
menguliti malam yang kaku ditiup hujan
hujan-hujan yang lucu, seperti daging yang kau pintal menjadi susu
hujan-hujan yang manja, seperti kupu-kupu melingkari gambar cinta
:perempuan berkemeja ungu, berambut lurus, berdada condong ke depan
kau meyakinkanku tentang bumi yang semakin pipih memanjang
tempat dimana jantungmu telungkup di jantungmu yang telentang
mengerjai malam-malam yang bandel dan kelam
sekelam rambutku yang menggelitik ujung-ujung gaun
sekelam dahimu yang telah habis bertekuk-tekuk cium
mari! -ajak seorang malam-
menguliti hujan
biar mereka kedinginan
biar mereka bertukar tawa
melihat mereka, hujan-hujan yang telanjang
aku dan kau hanya bertukar senyum
setelah lelah bertukar tawa
bertukar dingin
30 November 2009
Gusmel Riyadh
Akhir bulan yang tegang
gambar dari sini
2 komentar:
nice poet...........
thanks...
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR DI BLOG INI. APA YANG ANDA PIKIRKAN SOAL TULISAN SAYA TADI?